Saturday 3 September 2011

Answer

Ryuna duduk bersandar di kursi. Berhenti melakukan apa yang sedari tadi ia lakukan. Sebuah kain putih panjang terbentang di atas meja didepannya sampai ke lantai. Gadis Asia ini mengambil kertas rancangan pakaian yang hendak dibuatnya itu. Melihat dengan teliti dan akan memulai menggunting ketika dari ranjang dalam kamar itu menarik perhatiannya.


Lelaki seusianya sedari tadi tampak gelisah dalam tidurnya dan itu membuat Ryuna sedih. Sebagaimana adiknya itu bisa merasakan kesedihannya kemarin, Ryuna juga bisa merasakan kesedihan yang sama akan adiknya.


"Luciazigo..." gumamnya. Ryuna akan menghampiri ranjang besar itu saat pintu kamar mereka terbuka.


Seseorang masuk dalam diam.


"Firenzigo," panggil Ryuna. Adiknya satu itu diam saja tak menanggapinya dan berjalan menuju sofa di didekat pintu. Ia duduk dan menghela nafas. Jelas ada yang tidak biasa.


"Kenapa sudah pulang? Bukannya bertemu Henriette?" Ryuna mendekati lalu duduk di sebelah adik bungsunya.


"Ibu ngantuk. Aku disuruh pulang," jawabnya singkat. Diam sesaat. Ryuna tahu Firenzigo ingin ditanya lebih lanjut.


"Sedih?" Ryuna membelai rambut coklat Firenzigo. Menyingkap poninya sehingga memperlihatkan kerutan alis Si Adik. Firenzigo mengangguk. Ryuna kembali bertanya,"Sedih kenapa?"


"Henriette..."


Ryuna diam menunggu Firenzigo melanjutkan,"Dia..."


"Dia?"


"Nertawain aku..." jatuhlah air mata Firenzigo. Ryuna memeluknya lembut,"Mungkin hanya bercanda."


"Tapi kan..." Firenzigo memeluk kakak perempuannya dengan manja. "Aku kan gak mau digituin...."


Sebelum mereka bisa saling memandang, Ryuna tersenyum kecil dengan maksud yang sama dikeluhkan adiknya ini. Dia menepuk-nepuk ringan pundak Firenzigo untuk menenangkannya seraya berkata,"Sudah, sudah, gak apa-apa kan? Sekali ini aja mungkin. Lagipula kalian sudah lama tidak bertemu kan?"


"Justru itu!" Firenzigo melepas pelukan. Menatap manja kakaknya. "Seharusnya dia gak nertawain gitu waktu aku ngucapin selamat ulang tahun!"


Ryuna hanya tersenyum menanggapi kelanjutan keluhan,"Mana dia langsung main *piiip* terus *piiiiiiip* dan *piiiiiipppp*! Gak ada ngajak ngobrol dulu kek ato gimana kek!?!"


Kali ini, tak elak, Ryuna malu sendiri akan keluhan adiknya. Memang mereka beda budaya dan bagi Ryuna yang asal Timur, apa yang dikeluhkan adiknya tergolong tabu untuk diucapkan segamblang itu. Tapi biar begitu, Ryuna kakaknya dan dia harus mendengarkan keluhan adiknya juga. Mau tak mau, dia berusaha menahan wajah merah.


"Ryuna?" panggil Firenzigo yang menatap lekat kakaknya,"sakit? Mukanya kok merah?"


"Eh?" tentu saja dia gagal menahannya. "Ah, tidak, tidak."


Sedikit heran, tapi Firenzigo kembali bercerita, "Terus ya, Henriette itu minta kado pula. Dia aja gak ngasih kita kado kan Juni kemarin? Iiiiihhhhh!!! Keseeeelllll!!! Eh, salah. Dia dapet kadonya uda. Katanya dia ingin aku sebagai kadonya. Lha? Kadoku gimana?!?!?!"


"Sabar, sabar..."


"Mana Ibu pake acara ngantuk segala lagi! Kan aku..." mata Firenzigo teralih ke arah meja tempat Ryuna bekerja tadi. Dia terdiam, menoleh ke kakak perempuannya. "Itu..."


"Hem?" Ryuna mengikuti tangan Firenzigo yang menunjuk meja itu, "Iya, baju pernikahanmu. Tanggal 25 ini kan?"


Firenzigo beranjak dari sofa itu, berjalan ke tempat kain putih itu terbentang. Tangannya menyusuri lembut. Merasakan sisi halus dari bahan tersebut. Tatapannya sendu. Sekilas tampak sedih.


"Kuusahakan selesai sebelum tanggal itu. Meski yah...mungkin agak pas-pas-an waktunya karena Ibu kadang masih memanggilku untuk lain-lainnya."


Firenzigo diam saja. Masih menatap kain itu. Ryuna heran,"Firenzigo?"


"Aku..."


"Ya?"


"...ragu..."


"Ragu apa?"


"Menikah."


"Hah?!" Jelas Ryuna kaget. Dia menatap lekat adiknya seolah tak percaya. Nadanya mendesak ketika bertanya, "Kenapa ragu? Kau punya kekasih lain?"


"Hah?" gantian, Firenzigo yang kini kaget. Dia menggeleng kuat, "Gak! Gaklah! Darimana pula aku bisa punya kekasih lain? Bukan itu!"


Sedikit bernafas lega, Ryuna melembut, "Jadi, kenapa ragu?"


Wajah Firenzigo tampak sedih. Dia terduduk di kursi kerja Ryuna. Menunduk. Ryuna berdiri di sampingnya, membelai-belai lembut rambut coklat itu. "Ada apa? Ceritalah..."


Terdengar rangkaian kata di sela isak tangis, "He-Henriette...a-apa gak apa-apa dia menikah denganku?"


"Memang kenapa?"


"A-aku ka-an..hiks...gak guna...gak b-bis-a a-pa-ap-a...hiks...hiks..."


Ryuna berlutut di lantai samping adiknya duduk. Dia menggunakan tangan kirinya untuk menghapus air mata Firenzigo sementara menggengam tangan Firenzigo dengan tangan kanannya.


"Apa pernah Henriette berkata seperti itu?"


"Nggak..."


"Apa pernah Henriette mengeluh menjurus ke situ?"


Firenzigo berpikir sebentar, "Nggak..."


"Apa pernah Henriette tidak menunjukkan sayangnya?"


Dia menggeleng kepalanya pelan, "Nggak..."


"Tidak masalah kan kalau begitu?" Ryuna tersenyum. Ketika Firenzigo hendak membantah, Ryuna melanjutkan dengan berkata, "Menikah itu tidak bisa diputuskan hanya dengan satu kali berpikir, Firenzigo."


Terlihat jelas di wajahnya kalau Firenzigo tidak mengerti.


"Sebelum Henriette bertanya padamu, melamarmu untuk menjadi pasangan hidupnya, tentu saja dia sudah memikirkan semuanya. Terikat dalam pernikahan memang bukan hal mudah, tapi mau terikat dengan komitmen seperti itu yang lebih susah."


"Tapi kan..."


"Adikku sayang, Firenzigo, dia memilihmu. Atas perasaannya, keinginan, dan kebutuhannya, dia memilihmu."


"Tapi... dia itu selalu sempurna. Semua dilakukannya berakhir bagus. Masak bisa. Apa-apa bisa. Aku kan gak bisa..."


Ryuna menghela nafas, "Sayang dengan Henriette?"


"Iyalah!"


"Kenapa sayang dengannya?"


"Hah? Kenapa?" Firenzigo berpikir keras. "Gak tau. Cuma sayang aja. Gak tau kenapa."


"Bukan karena dia bisa masak dan lainnya?"


"Heh?"


"Kalau dia gak bisa apa-apa, masih sayang?"


Firenzigo melihat mata kelabu Ryuna. Dia tidak mengerti ditanya seperti itu. Tapi...dia memikirkan jawabannya. Seandainya...Henriette gak bisa masak? Rasanya itu tidak terlalu mempengaruhinya untuk tidak sayang. Tidak bisa yang lainnya? Firenzigo sendiri tak pernah memperhatikan atau tahu pekerjaan Henriette. Dia hanya tahu kalau kekasihnya itu telaten dalam segala hal. Apa yang disukainya dari sang kekasih bukanlah kesempurnaannya, melainkan sisi kasihnya.


Firenzigo menjawab jujur, "Masih."


Senyuman senang diberikan Ryuna, "Itu juga yang dirasakan Henriette padamu."


Keduanya bertatapan. Untuk ini, Firenzigo mengerti maksud kakaknya. Cemas yang dirasakannya tadi sudah hilang. Berganti rasa senang hangat dalam hatinya. Menyadari bahwa pikirannya tak terbukti benar. Dia memeluk Ryuna.


"Grazie..."