Tuesday 14 February 2012

Tears of Time

Suara tangisan itu terdengar dari balik selimut. Membuat ranjang bergetar sesuai isakannya. Bukan pertama kalinya ini terjadi dan sementara si pemilik isakan menutupi wajah sambil berbaring, di kedua sisinya duduk dengan wajah letih yang sama.

Kedua kakaknya. 

Rambut hitam yang sama menanungi air muka sedih memandang tertunduk kepada adik mereka. Keduanya tak bisa berkata apa-apa. Menghibur, tak berguna. Menenangkan, tak bisa. Karena berbagi ranjang yang sama berarti mereka membagi perasaan yang sama, terlebih mereka tinggal dalam ruangan yang sama. 

Yang paling muda, baru 4 bulan menjalani pernikahan tanpa bertemu dengan kekasihnya. Firenzigo terisak tak bisa menahan kesedihan. Malam ini...tak terhitung sudah keberapa hanya dihiasi tangisannya. Kondisi yang tak bisa mereka kendalikan untuk diperbaiki mengingat mereka hanyalah boneka yang dimainkan. Hanya salah satu bagian jiwa dari puppet master yang mereka panggil "Ibu". 

Perlahan, air mata menetes di pipi gadis berwajah Asia...Yang tertua, anak pertama. Ryuna. 

Ia, seperti biasa, mendekati adiknya. Menyibakkan selimut dan ikut berbaring menatap raut wajah yang tak terkatakan perihnya hati terpisah dari belahan jiwa. Tangan kecilnya membelai rambut coklat itu. Membiarkan air matanya terus mengalir tanpa terhapus. Pandangan dari mata kecoklatan adiknya tidak melihat Ryuna yang menatapnya. Melainkan memperlihatkan bagaimana kenangannya selama ini bersama orang yang baru mengikat janji dengannya. 

Ryuna mencium kening adiknya. Merangkul ke dalam pelukan hangat. Bahkan bibirnya tak sanggup berkata,"Tak apa-apa, semuanya baik-baik saja." sekalipun itu hanya ucapan belaka. Tak lagi mempunyai harapan itu bisa menjadi doa. 

Telah lama adiknya ditidurkan. Ryuna bersama adik keduanya, Luciazigo, berusaha selalu menidurkan Firenzigo. Menjaga agar ia tidak terjaga. Tidak perlu menghadapi kenyataan pahit tak bisa bertemu pasangannya. Mereka tahu pasti Firenzigo tak akan tahan. Namun, tak semuanya sesuai harapan. Ia tersadar, teah bertemu pasangannya namun tak seperti biasa. Kembali ke kamar ini berlinangan air mata, menghabiskan waktu hanya dengan menatap kosong diselingi tangisan. Seratus hari lewat tanpa senyuman. Satu kata pun tak lagi keluar. Entah masih adakah suara tertinggal di sana?

Menyalahkan masa lalu tak berguna, tak akan mengubah apa-apa. Menyalahkan Ibu hanya memanjangkan permasalahan, tak bisa mengubah keadaan. Sekarang waktu tak kunjung juga bersahabat. Membiarkan kesedihan meninggalkan aroma penyesalan tak berkesudahan. 

Luciazigo merapatkan diri dekat kedua saudaranya. Memeluk mereka lembut setelah sebelumnya mencium kening keduanya. 

Dan mereka hanya bisa menunggu wangi yang ditebar kesedihan akan pergi...

Mungkin.