Helaan nafas lagi yang terdengar. Untuk kesekian kali.
Gadis Asia dengan rambut hitam panjang ini duduk di atas ranjangnya. Selimut masih menutupi seluruh kakinya. Ia tengah bersandar ke dinding ranjang sambil menunduk. Menangis.
Isak tangisnya ternyata cukup untuk membangunkan salah seorang saudaranya yang tidur seranjang dengannya. Lelaki Italia berambut hitam serta bermata biru membuka mata perlahan sebelum dia membalikkan badan ke sisi kanan. Memandangi kakak perempuan satu-satunya terisak pelan. Dia diam tetap memandangi lalu menyibakkan selimut dan ikut duduk.
Merasakan gerakan lain selain dirinya, gadis itu mengelap air matanya. Ia menoleh kepada adiknya yang bangun. Berkata pelan,"Maaf, membuatmu bangun..."
"Tidak apa-apa."
Kini mereka sama-sama bersandar. Menatap arah lain. Dengan pikiran masing-masing.
"Ryuna," panggil adik lembut. Kakak hanya menjawab kecil,"Hm?"
"Lupakanlah."
Hening menghampiri. Ryuna berusaha menahan tangis. Namun tak bisa. Rasa sakit yang dirasakan tak bisa dia kontrol. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Berusaha meredam suara tangis menyakitkan yang tengah keluar. Takut membangunkan adik bungsunya yang satu lagi sedari tadi tertidur diantara dirinya dan adik laki-lakinya ini.
Mendengar Ryuna berusaha meredam suara tangisnya, akhirnya Si Adik turun dari ranjang. Ia memutari ranjang agar bisa mencapai tepi lain dari ranjang yang ditempati Ryuna sekarang. Dia duduk di samping Ryuna. Lalu memeluknya pelan.
"Lu-Luciazigo..." isak Ryuna membalas pelukan tenang yang diberikan adiknya.
Suara adiknya yang dalam berkata,"Lupakan saja..."
Bukan Luciazigo tidak mengerti apa yang dirasakan Ryuna. Ia mengerti. Terlampau paham malah. Sekalipun sifat mereka bertiga berbeda-beda, ketiganya bisa saling tahu serta merasakan perasaan masing-masing.
Seseorang...yang diharapkan Ryuna agar menyayanginya juga, tak memberikan respon baik. Salah. Tidak sepenuhnya buruk. Orang itu baik. Menghargai Ryuna tinggi. Tegas. Namun tak banyak omong yang tak perlu. Ia hanya berbicara seperlunya saja meski Ryuna berusaha keras agar mereka bisa bertukar kata lebih banyak.
"Ta-tapi..." entah kenapa pengharapan Ryuna akan orang itu tak bisa hilang.
Berat Luciazigo untuk mengatakan tapi dia dan kakaknya tahu, kata-kata ini mesti diucapkan,"Dia tidak memikirkanmu seperti kau memikirkannya..."
Bagai ditusuk ribuan jarum, tangisan Ryuna semakin menjadi namun ia mendekap Luciazigo erat serta membenamkan diri di bahu adiknya agar suaranya tak terlalu besar.
"Aku...tahu..itu..." punggungnya bergetar akibat tangis," tapi..."
"Ya, aku tahu."
Luciazigo membelai kakaknya lembut. Ia bisa merasakan kesedihan milik Ryuna membanjiri perasaannya setelah ia mengatakan kata-kata tadi.
"Kita tahu itu."
No comments:
Post a Comment